A. Sejarah
Pada
umumnya kebijakan harga setidaknya memiliki empat fungsi strategis yang dapat memberikan
perlindungan bagi petani produsen dan konsumen sekaligus. Pertama, kebijakan
harga sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas atau mengurangi fluktuasi
harga antar musim, antar wilayah dan antar pelaku. Kedua, kebijakan harga dimaksudkan untuk
memberikan insentif atau signal positif yang dapat membantu petani merencakan
pola produksinya pada musim tanam yang akan datang. Ketiga, kebijakan harga
juga diharapkan digunakan sebagai acuan kepastian bagi konsumen beras, terutama
dari kalangan tidak mampu. Selanjutnya , kebijakan harga bertujuan untuk
menjadi peredam risiko produksi dan risiko usahatani padi dari fluktuasi iklim
dan cuaca, ketidakpastian pasar.
Instrumen
kebijakan harga yang umum digunakan adalah kebijakan harga dasar gabah (floor
price) dan harga atap (ceiling price), dengan konsekuensi pemerintah akan
mengeluarkan berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan harga
tersebut.
Sejak
tahun 1998 Indonesia tidak lagi melaksanakan instrumen kebijakan stabilisasi
harga, baik karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) maupun karena
ketidakmampuan anggaran negara. Para ekonom pertanian telah lama yakin
stabilitas harga menjadi salah satu dimensi yang penting dalam ketahanan pangan
dan kesejahteraan petani dan konsumen. Seiring dengan pressure untuk
memperbaiki transparansi dan akuntabilitas publik, Bulog mengurangi tanggung
jawab pemerintah, yang tentu saja berdampak pada kinerja stabilitasi harga.
Bahkan, pemerintah tidak secara tegas menerapkan kebijakan stabilisasi harga
dalam empat tahun terakhir. Misalnya, dalam Inpres 9/2002 tentang perberasan,
istilah harga dasar “disandingkan dan dikaburkan” dengan istilah harga dasar
pembelian pemerintah (HDPP), yang tidak terlalu memiliki konsekuensi kewajiban
pemerintah untuk mengamankannya. Kemudian sejak Januari 2003 melalui Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 7/2003 Bulog yang semula Lembaga Pemerintah
Non-Departemen (LPND) dengan privilege yang cukup besar telah diubah menjadi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan format Perusahaan Umum (Perum).
Dalam
Inpres 13/2005 yang dikeluarkan bulan Oktober 2005 memang menunjukkan
ketidakjelasan instrumen harga sebagai upaya stabilisasi harga gabah petani dan
harga beras konsumen. Di sinilah fakta
bahwa petani padi Indonesia harus mampu menghadapi gejolak harga padi – ketika mereka berfungsi sebagai produsen –
dan menerima harga beras dan kebutuhan pokok lainnya – ketika mereka menjadi
konsumen. Benar bahwa pemerintah masih berupaya “menjaga stabilitas harga beras
dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah”. Akan tetapi, pengalaman empiris selama ini,
kinerja pengelolaan cadangan sering bermasalah dan sering berakhir dengan
kontroversi impor beras seperti selama ini.
Terakhir,
dalam Inpres 3/2007 nuansa perlindungan petani itu semakin lepas, walaupun
telah mencantumkan secara eksplisit komponen HPP gabah dan HPP beras. Namun
demikian sangat sulit untuk berharap akan terjadi mekanisme yang fair dalam
proses “transfer marjin keuntungan” yang dinikmati penggilingan, pedagang besar
dan pengecer kepada petani atau kelompok tani.
Selama ini, posisi tawar petani memang tidak terlalu baik dibandingkan
dengan posisi tawar para pedagang, terutama dalam kesempatannya untuk
memperoleh harga yang layak. Di lain
pihak, apabila petani sedang berfungsi sebagai konsumen, mereka pun tidak
memiliki posisi tawar yang baik ketika berhadapan dengan pedagang. Pada saat stok beras di pasaran masih
menipis, atau harga beras dan kebutuhan pokok melambung dan laju inflasi masih
tinggi, para petani Indonesia yang sebenarnya net-consumers dari beras, jelas
tidak mampu berbuat banyak mempengaruhi harga.
(anonymous a,2012)
B. Implementasi Kebijakan
Di
Indonesia sebagai suatu contoh kasus, ada 2 (dua) kemungkinan pola musiman di
Indonesia, yaitu musim paceklik (minus supply) dan musim panen raya (over
supply). Pada musim peceklik pangan (beras), harga bahan pangan menjadi
meningkat tajam, dan hal ini akan memberatkan kepentingan konsumen (consume
interest). Sementara pada musim panen raya harga produk pangan (gabah) akan
turun drastis, dan hal ini memberatkan kepentingan produsen/petani (produser
interst). Karena semua itu tercipta dalam mekanisme pasar secara otomatis.
Khusus di Indonesia, dalam mengaplikasikan kebijakan yang memadukan dua kondisi
yang bertolak belakang tersebut. Di salah satu sisi, ketika kondisi pangan
(beras) “minus supply” konsumen akan tetap terlindungi dengan kemampuan daya
beli riel yang tetap, dan pada saat musim panen raya (over supply) produsen
akan terlindungi dengan tingkat harga yang tetap dan konsisten. Akhirnya
dilepas kebijakan harga dasar gabah di setiap tahunnya melalui SK Presiden
Republik Indonesia. Secara ideal, kebijakan ini sangat bermanfaat bagi ekonomi
makro dan kepetingan ekonomi politik di Indonesia, sebagai negara berkembang
yang mementingkan terciptanya stabilitas pangan dalam perjalananan
pembangunannya. Walaupun di lain sisi, kebijakan ini menyebabkan “market
faillur” yang mendistrosi kemakmuran (welfare economic) yang tercipta dari
mekanisme pasar murni (pure market mecanism) (Rais, 2003).
C. Kendala atau Permasalahan yang Timbul Serta
Rekomendasi Untuk Mengatasi Permasalahan Tersebut
Menurut
Leon A mears (1981) keberhasilan penentuan harga atap dan harga dasar oleh
pemerintah ternyata membawa akibat. Yaitu banyaknya pedagang yang keluar dari
struktur pasar, berkurangnya lembaga tataniaga maupun produsen yang bermodal
dan melakukan fungsi penyimpangan serta membesarnya jumlah gabah/padi yang
dipasarkan (marketing supply).
Kebijaksanaan harga untuk merangsang petani meningkatkan produksi. Dan dalam
operasionalisasinya, kebijaksanaan harga ini akan didukung dengan kebijaksanaan
pengadaan pangan.

a.
Pengaruh harga tertinggi terhadap pasar. Ada 2
kemungkinan yang bisa terjadi:
1.
harga maksimum tidak dicapai
2.
harga maksimum memaksa pasar, mengakibatkan terjadinya
shortages (permintaan produk lebih tinggi dari penawaran) contoh: kekurangan
supply bensin tahun 1970an dan tahun 2008.
(Anonymous b, 2012)
Dampak yang terjadi adalah pemerintah harus menyediakan barang
lebih banyak sesuai dengan jumlah permintaan yang ada di masyarakat dengan cara
penambahan barang yang dilakukan dengan memberikan subsidi, mengimpor barang,
dan mengurangi pajak.
(Anonymous b, 2012)
b.
Pengaruh harga
terendah terhadap pasar. Ketika pemerintah memaksakan suatu batas harga
terendah, ada 2 kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
1.
harga dasar tidak
berpengaruh jika ditetapkan dibawah harga keseimbangan
2.
harga dasar mengikat jika
ditetapkan di atas harga keseimbangan
(Anonymous
c, 2012)
Dampak yang
ditimbulkan adalah kelebihan penawaran yang terjadi di pasar dapat dibeli oleh
pemerintah tentunya dengan kualitas yang sudah teruji, ataupun membuat
kebijakan yang mempermudah barang tersebut untuk di ekspor ke luar negeri
(tentunya kebutuhan dalam negeri harus terpenuhi terlebih dahulu) (Prajogo,
2012)

·
Persoalan yang sering terjadi Pada pasar yang
terbuka resiko yang dihadapi petani padi bertambah dengan ancaman harga beras
dunia yang rendah yang saat ini hanya sekitar USS 145 per ton. Dengan nilai
tukar Rp 11.000 per US$ harga beras impor masih jauh lebih rendah dari harga
domestik dan harga dasar gabah yang ditetapkan Rp 1.500 per kg GKG. Pada
situasi yang demikian maka sangat perlu petani padi mendapat perlindungan
melalui harga dasar.
SOLUSI
nya
Tingkat harga
minimal perlu ditetapkan pemerintah untuk melindungi petani dari sangat
rendahnya harga beras dunia dan kemungkinan menguatnya nilai tukar rupiah.
·
Permasalahan
Parajuli (2001)
memperkirakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi masih
berlanjut. Saat ini diperkirakan sekitar 20 persen penduduk Indonesia mengalami
kerawanan pangan. Selain itu sekitar 20-30 persen lainnya mengalami kesulitan
untuk mendapatkan akses terhadap pangan karena masalah daya beli. Secara total
ada sekitar 82 juta penduduk yang terancam atau hampir terancam rawan pangan
dengan peluang satu dalam tiga tahun. Masalah nutrisi juga perlu menjadi
perhatian karena satu dari tiga bayi juga dilaporkan kekurangan gizi.
(anonymous
d,2012)
SOLUSI
Kelompok yang rawan pangan perlu
dilindungi ketahanan pangannya dengan memberikan
subsidi (targeted price subsidy).
Upaya ini juga akan
menonjol dimasa mendatang sebagai program social assistance serta
dipandang sebagai investasi sumber daya manusia agar mereka tetap dapat
produktif serta tidak semakin membebani masyarakat pada jangka panjang
SARAN
: bagi
Indonesia yang menghadapi masalah dana, perlu merancang suatu kebijaksanaan
yang mampu mengkaitkan perlindungan kepada petani padi yang miskin serta
konsumen miskin yang masih rawan pangan. Kelompok yang satu menghasilakan
padi/beras, kelompok yang lain memerlukan beras.
1 komentar:
sipp
Posting Komentar