Jumat, 07 Juni 2013

Mikroorganisme Yang Bersimbiosis Dengan Serangga

1. Simbiosis rayap dengan bakteri dan protozoa pada saluran pencernaannya

Rayap merupakan salah satu kelompok serangga dengan jumlah keragaman yang besar. Rayap (Ordo Isoptera) terdiri atas tujuh family, yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae. Sampai sekarang sudah tercatat 14 subfamili, 281 genus dan lebih dari 2600 spesies termasuk dalam kelompok ini (Kambhampati dan Eggleton 2000).
Saluran pencernaan rayap terdiri atas usus depan, usus tengah, dan usus belakang. Saluran pencernaan ini menempati sebagian besar dari abdomen. Usus depan terdiri atas esofagus dan tembolok yang dilengkapi dengan kelenjar saliva. Esofagus dan tembolok memanjang pada bagian posterior atau bagian tengah dari thorak. Kelenjar saliva mensekresikan endoglukanase dan enzim lain ke dalam saluran pencernaan. Usus tengah merupakan bagian yang berbentuk tubular yang mensekresikan suatu membrane peritrofik di sekeliling material makanan. Usus tengah pada rayap tingkat tinggi juga diketahui mensekresikan endoglukonase. Usus belakang merupakan tempat bagi sebagian besar simbion (Noirot & Noirot-Timothee 1969; Scharf & Tartar 2008)
Rayap bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa pada saluran pencernaannya. Pada rayap tingkat rendah lebih banyak bersimbiosis dengan protozoa dibandingkan dengan bakteri, sebaliknya pada rayap tingkat tinggi lebih banyak bersimbiosis dengan bakteri dibandingkan dengan protozoa (Krishna 1969; Bignell 2000; Breznak 2000).
Protozoa yang bersimbiosis dengan rayap tingkat rendah berbeda pada tiap spesies. Zootermopsis angusticollis bersimbiosis dengan Tricercomitis, Hexamastix, dan Trichomitopsis. Mastotermes darwiniensis bersimbiosis dengan Mixotricha paradoxa (Breznak 2000). Coptotermes formosanus bersimbiosis dengan Pseudotrichonympha grasii, Spirotrichonympha leidy, Holomastigoides mirabile (Inoue et al. 2005; Nakashima et al. 2002b), dan Holomastigoides hartmanni (Tanaka et al. 2006). Coptotermes lacteus bersimbiosis dengan Holomastigoides mirabile (Watanabe et al. 2002). Reticulitermes speratus bersimbiosis dengan Teranympha mirabilis, Triconympha agilis (Ohtoko et al. 2000), Dinenympha exilis dan Pyrsonympha grandis (Todaka et al.2007)
Sedangkan beberapa contoh bakteri simbion pemecah selulosa pada rayap adalah bakteri fakultatif Serratia marcescens, Enterobacter erogens, Enterobacter cloacae, dan Citrobacter farmeri yang menghuni usus belakang rayap spesies Coptotermes formosanus (famili Rhinotermitidae) dan berperan memecah selulosa, hemiselulosa dan menambat nitrogen.
Penelitian lain mengatakan protozoa yang menghuni usus rayap tidaklah bekerja sendirian tetapi melakukan simbiosis mutualisme dengan sekelompok bakteri. Flagella yang dimiliki oleh protozoa tersebut ternyata adalah sederetan sel bakteri yang tertata dengan baik sehingga mirip flagella pada protozoa umumnya. Bakteri yang menyusun flagella memberikan motilitas pada protozoa untuk mendekati sumber makanan, sedangkan ia sendiri menerima nutrien dari protozoa. Contoh genus bakteri ini adalah Spirochaeta dengan Trichomonas termopsidis sebagai simbionnya.
Perilaku rayap yang sekali-kali mengadakan hubungan dalam bentuk menjilat, mencium dan menggosokkan anggota tubuhnya dengan lainnya (perilaku trofalaksis) merupakan cara rayap menyampaikan bakteri dan protozoa berflagellata bagi individu yang baru saja ganti kulit (ekdisis) untuk menginjeksi kembali invidu rayap tersebut. Di samping itu, juga merupakan cara menyalurkan makanan ke anggota koloni lainnya.
Sama seperti pada rayap tingkat tinggi, bakteri yang terdapat dalam usus belakang rayap tingkat rendah juga mempunyai peranan dalam proses pencernaan makanan, meskipun bakteri ini tidak berperan utama dalam proses dekomposisisi selulosa. Protozoa yang terdapat pada usus belakang rayap tingkat rendah merupakan protoza flagellata. Lebih dari 400 spesies protozoa flagellata telah diidentifikasi dalam usus belakang rayap tingkat rendah. Biomassa mikroba ini meliputi sekitar sepertujuh sampai dengan sepertiga berat rayap. Protozoa ini mempunyai peranan penting dalam metabolisme selulosa dan berfungsi menguraikan selulosa dalam proses percernaan makanannnya menghasilkan asetat sebagai sumber energi bagi rayap.
Hasil penelitian Belitz and Waller (1998) menunjukkan bahwa defaunasi protozoa dalam usus belakang rayap dengan menggunakan oksigen murni menyebabkan kematian rayap sekitar dua sampai tiga minggu walaupun diberi kertas saring yang mengandung selulosa. Namun rayap ini akan hidup lebih lama dengan makanan yang sama dengan adanya kehadiran protozoa dalam usus belakangnya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan rayap sangat tergantung pada mikroba simbiosisnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses penguraian selulosa dalam usus belakang rayap berlangsung dalam keadaan anaerobik.
Beberapa bakteri yang menghuni usus rayap juga diketahui dapat menghasilkan factor tumbuh berupa vitamin B yang dapat digunakan oleh rayap, seperti spesies Enterobacter agglomerans, mampu melakukan fiksasi nitrogen (Atlas % Bartha 1998). Beberapa metanogen juga ditemukan sebagai endosimbion pada beberapa protozoa pada serangga.

2.      Nematoda Steinernema spp bersimbiosis dengan bakteri Xenorhabditis spp

·         Nematoda Steinernema spp :
ü  Badan halus
ü  Ukuran tubuh > 500 – 900 milimikron
ü  Kepala halus tidak bertanduk
ü   Ekor tumpul
·         Deskripsi Taksonomi Steinernema spp :
Filum               : Nematelminthes
Ord
o                : Dorylaimida
Famili
              : Steinernematidae
Genu
s              : Steinernema
Spesies
            : Steinernema spp
3.      Nematoda Heterorhabditis spp bersimbiosis dengan bakteri Photorhabditis spp. 
·         Nematoda Heterorhabditis spp:
ü  Badan bersisik ( Tongkol jagung )
ü  Ukuran tubuh < 500 milimikron
ü   Kepala kasar,bertanduk dan bergigi kait
ü   Ekor lancip
·         Deskripsi Taksonomi Heterorhabditis spp :
Filum               : Nematoda
Kelas
              : Secermentae
Ordo
               : Rhabditida
Famili
             : Rhabditidae
Genus
            : Heterorhabditis
Species
           : Heterorhabditis indicus (Samsudin, 2011)
·         Mekanisme Patogenisitas
Mekanisme patogenisitas nematoda entomopatogen terjadi melalui simbiosis dengan bakteri patogen Xenorhabdus untuk Steinernema dan Photorhabdus untuk Heterorhabditis. Xenorhabdus terdiri dari lima spesies, yaitu X. nemathophilus, X. bovienii, X. poinarii, X. beddingii, dan X. japonica dan Photorhabdus hanya memilki satu spesies, yaitu P. luminescens. Infeksi dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel atau penetrasi langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan kedalam haemolim untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan nematoda entomopatogen mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi dapat mati dalam waktu 24-72 jam setelah infeksi. Senyawa antimikroba ini mampu menghasilkan lingkungan yang sesuai untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya sehingga mampu menurunkan dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain yang berkompetisi mendapatkan sumber makanan di dalam serangga mati. Keadaan demikian memungkinkan nematoda entomopatogen menyelesaikan siklus perkembangannya dan meminimalkan terjadinya pembusukan serangga inangnya. Faktor penentu patogenisitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri mutualistiknya yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam.
Patogenesitas Xenorhabdus spp. bergantung pada kemampuan masuknya nematoda ke haemocoel serangga inang, juga kemampuan dari bakteri itu sendiri untuk memperbanyak diri di haemolympa serta kemampuannya untuk melawan mekanisme pertahanan serangga inang. Serangga mempunyai ketahanan internal yang berupa senyawa kimia anti bakteri. Senyawa ini menyebabkan terjadinya pengkapsulan nematoda di dalam haemocoel, apabila nematoda tidak berhasil melawan ketahanan serangga inang. Apabila nematoda berhasil menghancurkan senyawa anti bakteri yang diproduksi oleh serangga, maka nematoda akan berhasil mencapai haemocoel, dapat berkembang menjadi dewasa dan bereproduksi di dalam haemocoel. Senyawa anti bakteri akan dihancurkan oleh enzim ekstraseluler yang dilepaskan oleh nematoda bersamaan dengan saat nematoda melakukan penetrasi ke dalam haemocoel serangga.
Hubungan simbiosis antara nematoda Steinernema carpocapsae dengan bakteri Xenorhabdus nematophilus menunjukkan dua peranan bakteri yaitu sebagai bakteri simbion di dalam tubuh nematoda entomopatogen dan sebagai patogen bagi serangga inang. Beberapa keuntungan dari simbiosis tersebut adalah bakteri dapat mematikan serangga inang dengan cepat, menyediakan nutrisi yang cocok, dan membuat lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi nematoda. Bakteri simbion mampu memproduksi senyawa antimikroba seperti antibiotik, bakteriosin, dan fages yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder yang ada di dalam tubuh serangga inang. Selama perbanyakan nematoda, cadangan makanan di dalam bangkai serangga menurun sampai terbentuk dauer juvenil, kemudian bakteri disimpan kembali oleh dauer juvenil.
Gejala dan tanda serangga yang terinfeksi nematoda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu efek internal, eksternal dan perilaku. Gejala umum yang terjadi adalah serangga akan berhenti bergerak dan makan, lalu terjadi perubahan warna. Kematian serangga akan terjadi secara septisemia dalam waktu beberapa jam sampai tiga hari tergantung temperatur dan spesies nematode.

Contoh: Nematoda Steinernematidae mampu mengendalikan Galleria mellonella, Spodoptera exigua dan Agrotis ipsilon dengan tingkat kematian inang 100% dan menekan populasi Ostrinia nubilalis sebesar 72-100%. Kepadatan populasi 250 JI/ml, S. carpocapsae dapat menyebabkan mortalitas C. borealis sebesar 48%. S. anomali pada kepadatan 200–400 JI/ml dapat menyebabkan mortalitas Anomala dubia sebesar 24–60%. Steinernema spp. pada kepadatan populasi 800 JI/ml dengan media tanah pasir dalam cawan petri dapat menyebabkan mortalitas larva Spodoptera litura instar ke-3 sebesar 100%. Pada instar ke-3 larva S. litura masih memiliki kulit tipis dan lunak serta aktif bergerak mencari makan. Hal ini sangat mendukung terhadap proses penetrasi nematode Steinernema spp. ke dalam tubuh larva. nematoda Steinernema spp. Dalam menyerang inang bersifat pasif, diam dan menunggu inang sampai berada di dekatnya.

Tidak ada komentar: