Minggu, 10 Juni 2012

“Kebijakan Harga Dasar dan Harga Atap Padi di Indonesia”


A.    Sejarah
Pada umumnya kebijakan harga setidaknya memiliki empat  fungsi strategis yang dapat memberikan perlindungan bagi petani produsen dan konsumen sekaligus. Pertama, kebijakan harga sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas atau mengurangi fluktuasi harga antar musim, antar wilayah dan antar pelaku.  Kedua, kebijakan harga dimaksudkan untuk memberikan insentif atau signal positif yang dapat membantu petani merencakan pola produksinya pada musim tanam yang akan datang. Ketiga, kebijakan harga juga diharapkan digunakan sebagai acuan kepastian bagi konsumen beras, terutama dari kalangan tidak mampu. Selanjutnya , kebijakan harga bertujuan untuk menjadi peredam risiko produksi dan risiko usahatani padi dari fluktuasi iklim dan cuaca, ketidakpastian pasar. 
Instrumen kebijakan harga yang umum digunakan adalah kebijakan harga dasar gabah (floor price) dan harga atap (ceiling price), dengan konsekuensi pemerintah akan mengeluarkan berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan harga tersebut.
Sejak tahun 1998 Indonesia tidak lagi melaksanakan instrumen kebijakan stabilisasi harga, baik karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) maupun karena ketidakmampuan anggaran negara. Para ekonom pertanian telah lama yakin stabilitas harga menjadi salah satu dimensi yang penting dalam ketahanan pangan dan kesejahteraan petani dan konsumen. Seiring dengan pressure untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas publik, Bulog mengurangi tanggung jawab pemerintah, yang tentu saja berdampak pada kinerja stabilitasi harga. Bahkan, pemerintah tidak secara tegas menerapkan kebijakan stabilisasi harga dalam empat tahun terakhir. Misalnya, dalam Inpres 9/2002 tentang perberasan, istilah harga dasar “disandingkan dan dikaburkan” dengan istilah harga dasar pembelian pemerintah (HDPP), yang tidak terlalu memiliki konsekuensi kewajiban pemerintah untuk mengamankannya. Kemudian sejak Januari 2003 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7/2003 Bulog yang semula Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) dengan privilege yang cukup besar telah diubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan format Perusahaan Umum (Perum). 
Dalam Inpres 13/2005 yang dikeluarkan bulan Oktober 2005 memang menunjukkan ketidakjelasan instrumen harga sebagai upaya stabilisasi harga gabah petani dan harga beras konsumen.  Di sinilah fakta bahwa petani padi Indonesia harus mampu menghadapi gejolak harga padi –  ketika mereka berfungsi sebagai produsen – dan menerima harga beras dan kebutuhan pokok lainnya – ketika mereka menjadi konsumen. Benar bahwa pemerintah masih berupaya “menjaga stabilitas harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah”.  Akan tetapi, pengalaman empiris selama ini, kinerja pengelolaan cadangan sering bermasalah dan sering berakhir dengan kontroversi impor beras seperti selama ini. 
Terakhir, dalam Inpres 3/2007 nuansa perlindungan petani itu semakin lepas, walaupun telah mencantumkan secara eksplisit komponen HPP gabah dan HPP beras. Namun demikian sangat sulit untuk berharap akan terjadi mekanisme yang fair dalam proses “transfer marjin keuntungan” yang dinikmati penggilingan, pedagang besar dan pengecer kepada petani atau kelompok tani.  Selama ini, posisi tawar petani memang tidak terlalu baik dibandingkan dengan posisi tawar para pedagang, terutama dalam kesempatannya untuk memperoleh harga yang layak.  Di lain pihak, apabila petani sedang berfungsi sebagai konsumen, mereka pun tidak memiliki posisi tawar yang baik ketika berhadapan dengan pedagang.  Pada saat stok beras di pasaran masih menipis, atau harga beras dan kebutuhan pokok melambung dan laju inflasi masih tinggi, para petani Indonesia yang sebenarnya net-consumers dari beras, jelas tidak mampu berbuat banyak mempengaruhi harga.
(anonymous a,2012)
B.     Implementasi Kebijakan
Di Indonesia sebagai suatu contoh kasus, ada 2 (dua) kemungkinan pola musiman di Indonesia, yaitu musim paceklik (minus supply) dan musim panen raya (over supply). Pada musim peceklik pangan (beras), harga bahan pangan menjadi meningkat tajam, dan hal ini akan memberatkan kepentingan konsumen (consume interest). Sementara pada musim panen raya harga produk pangan (gabah) akan turun drastis, dan hal ini memberatkan kepentingan produsen/petani (produser interst). Karena semua itu tercipta dalam mekanisme pasar secara otomatis. Khusus di Indonesia, dalam mengaplikasikan kebijakan yang memadukan dua kondisi yang bertolak belakang tersebut. Di salah satu sisi, ketika kondisi pangan (beras) “minus supply” konsumen akan tetap terlindungi dengan kemampuan daya beli riel yang tetap, dan pada saat musim panen raya (over supply) produsen akan terlindungi dengan tingkat harga yang tetap dan konsisten. Akhirnya dilepas kebijakan harga dasar gabah di setiap tahunnya melalui SK Presiden Republik Indonesia. Secara ideal, kebijakan ini sangat bermanfaat bagi ekonomi makro dan kepetingan ekonomi politik di Indonesia, sebagai negara berkembang yang mementingkan terciptanya stabilitas pangan dalam perjalananan pembangunannya. Walaupun di lain sisi, kebijakan ini menyebabkan “market faillur” yang mendistrosi kemakmuran (welfare economic) yang tercipta dari mekanisme pasar murni (pure market mecanism) (Rais, 2003).
C.    Kendala atau Permasalahan yang Timbul Serta Rekomendasi Untuk Mengatasi Permasalahan Tersebut
Menurut Leon A mears (1981) keberhasilan penentuan harga atap dan harga dasar oleh pemerintah ternyata membawa akibat. Yaitu banyaknya pedagang yang keluar dari struktur pasar, berkurangnya lembaga tataniaga maupun produsen yang bermodal dan melakukan fungsi penyimpangan serta membesarnya jumlah gabah/padi yang dipasarkan (marketing supply). Kebijaksanaan harga untuk merangsang petani meningkatkan produksi. Dan dalam operasionalisasinya, kebijaksanaan harga ini akan didukung dengan kebijaksanaan pengadaan pangan.
*      Kendala yang dihadapi pemerintah
a.    Pengaruh harga tertinggi terhadap pasar. Ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi:
1.      harga maksimum tidak dicapai
2.      harga maksimum memaksa pasar, mengakibatkan terjadinya shortages (permintaan produk lebih tinggi dari penawaran) contoh: kekurangan supply bensin tahun 1970an dan tahun 2008.
Description: http://1.bp.blogspot.com/-W9IEF5yoiCM/TfyVCkuEkXI/AAAAAAAAAGw/OxDB692Yggc/s400/gambar%2B4-1.jpg
(Anonymous b, 2012)
Dampak yang terjadi adalah pemerintah harus menyediakan barang lebih banyak sesuai dengan jumlah permintaan yang ada di masyarakat dengan cara penambahan barang yang dilakukan dengan memberikan subsidi, mengimpor barang, dan mengurangi pajak.
(Anonymous b, 2012)
b.             Pengaruh harga terendah terhadap pasar. Ketika pemerintah memaksakan suatu batas harga terendah, ada 2 kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
1.      harga dasar tidak berpengaruh jika ditetapkan dibawah harga keseimbangan
2.      harga dasar mengikat jika ditetapkan di atas harga keseimbangan
Description: http://2.bp.blogspot.com/-1xSBCaBjSOw/TfyVSJe_5hI/AAAAAAAAAG4/ErBmdmBnOYs/s400/gambar%2B4-3.jpg
(Anonymous c, 2012)

Dampak yang ditimbulkan adalah kelebihan penawaran yang terjadi di pasar dapat dibeli oleh pemerintah tentunya dengan kualitas yang sudah teruji, ataupun membuat kebijakan yang mempermudah barang tersebut untuk di ekspor ke luar negeri (tentunya kebutuhan dalam negeri harus terpenuhi terlebih dahulu) (Prajogo, 2012)
*      KENDALA HARAGA PASAR PADI
·         Persoalan yang sering terjadi Pada pasar yang terbuka resiko yang dihadapi petani padi bertambah dengan ancaman harga beras dunia yang rendah yang saat ini hanya sekitar USS 145 per ton. Dengan nilai tukar Rp 11.000 per US$ harga beras impor masih jauh lebih rendah dari harga domestik dan harga dasar gabah yang ditetapkan Rp 1.500 per kg GKG. Pada situasi yang demikian maka sangat perlu petani padi mendapat perlindungan melalui harga dasar.
SOLUSI nya
Tingkat harga minimal perlu ditetapkan pemerintah untuk melindungi petani dari sangat rendahnya harga beras dunia dan kemungkinan menguatnya nilai tukar rupiah.
·         Permasalahan
Parajuli (2001) memperkirakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari krisis ekonomi masih berlanjut. Saat ini diperkirakan sekitar 20 persen penduduk Indonesia mengalami kerawanan pangan. Selain itu sekitar 20-30 persen lainnya mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap pangan karena masalah daya beli. Secara total ada sekitar 82 juta penduduk yang terancam atau hampir terancam rawan pangan dengan peluang satu dalam tiga tahun. Masalah nutrisi juga perlu menjadi perhatian karena satu dari tiga bayi juga dilaporkan kekurangan gizi.
(anonymous d,2012)
SOLUSI
Kelompok yang rawan pangan perlu dilindungi ketahanan pangannya dengan memberikan subsidi (targeted price subsidy).
Upaya ini juga akan menonjol dimasa mendatang sebagai program social assistance serta dipandang sebagai investasi sumber daya manusia agar mereka tetap dapat produktif serta tidak semakin membebani masyarakat pada jangka panjang
SARAN : bagi Indonesia yang menghadapi masalah dana, perlu merancang suatu kebijaksanaan yang mampu mengkaitkan perlindungan kepada petani padi yang miskin serta konsumen miskin yang masih rawan pangan. Kelompok yang satu menghasilakan padi/beras, kelompok yang lain memerlukan beras.