BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara agraris dimana pembangunan di bidang pertanian menjadi
prioritas utama karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan
komitmen tinggi terhadap pembangunan ketahanan pangan sebagai komponen
strategis dalam pembangunan nasional. UU No.7 tahun 1996 tentang pangan
menyatakan bahwa perwujudan ketahanan pangan merupakan kewajiban pemerintah
bersama masyarakat. mayoritas mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah di
sector pertanian.
Populasi penduduk yang kian meningkat tidak
sebanding dengan luasnya lahan yang digunakan untuk pemukiman. Sedangkan
kebutuhan akan pangan terus meningkat sangat tajam. Akibatnya lahan-lahan
produktif yang seharusnya dapat digunakan sebagai lahan pertanian yang
manghasilkan kini mulai berkurang. Ekstensifikasi pertanian harus dilakukan
untuk mencegah terjadinya penurunan produksi hasil pertanian dan untuk memenuhi
kebutuhan pangan,
Ekstensifikasi pertanian adalah usaha peningkatan produksi pangan dengan
meluaskan areal tanam,
Bersangkutan dengan hal tersebut,
perlu adanya pengembangan dalam bidang pertanian. Tersedianya lahan pertanian
yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian memang suatu kebutuhan dan
keharusan dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan nasional sekaligus dasar
bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani kita.
1.2 Tujuan
·
Mengetahui
pelaku ekstensifikasi pertanian
·
Mengetahui
tentang macam-macam ekstensifikasi pertanian
·
Mengetahui
tentang dampak dilakukan ekstensifikasi pertanian
1.3 Manfaat
·
Bagi
petani, dapat memahami tentang ekstensifikasi pertanian
·
Bagi
pembaca, dapat mengetahui manfaat dan dampak dari ekstensifikasi pertanian
·
Bagi
masyarakat, dapat memperoleh ilmu tentang adanya ekstensifikasi pertanian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelaku ekstensifikasi pertanian
Untuk mengatasi
masalah kurangnya lahan produktif pertanian, maka akan dilakukan ekstensifikasi
pertanian. Perluasan lahan dengan cara mencari lahan-lahan baru yang bisa
ditanami tanaman dan menghasilkan produksi tanaman yang dapat memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat.
Ekstensifikasi pertanian ini bisa dilakukan oleh perseorangan (petani) maupun mengikuti program yang telah dilakukan oleh pemerintah. Biasanya, ekstensifikasi pertanian atau perluasan lahan pertanian ini dilakukan secara mandiri, berkesinambungan dan mendapat pengawasan penuh dari pemerintah. Salah satunya adalah dengan menggerakkan program transmigrasi.
Ekstensifikasi pertanian ini bisa dilakukan oleh perseorangan (petani) maupun mengikuti program yang telah dilakukan oleh pemerintah. Biasanya, ekstensifikasi pertanian atau perluasan lahan pertanian ini dilakukan secara mandiri, berkesinambungan dan mendapat pengawasan penuh dari pemerintah. Salah satunya adalah dengan menggerakkan program transmigrasi.
(Anonymous
a,2012) 2.2 Macam-macam
ekstensifikasi pertanian
·
Perluasan
lahan pertanian dengan pembukaan hutan baru
Ekstensifikasi pertanian dengan
melakukan perluasan dan pembukaan hutan yang masih tertutup atau belum pernah
dijadikan lahan pertanian. Sebenarnya, sistem nomaden atau berpindah-pindah
ladang yang dilakukan masyaratakat di Indonesia sejak dulu merupakan hasil dari
perluasan lahan yang mandiri. Pembukaan hutan ini dapat dilakukan secara
serentak maupun perseorangan. Membuka hutan baru yang lahannya masih subur
diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian.
- Perluasan lahan pertanian dengan pembukaan lahan kering
Ekstensifikasi pertanian dengan pembukaan lahan kering
memerlukan penanganan lebih khusus. Lahan kering merupakan sebuah lahan yang
memiliki tanah kering, kurang subur dan mudah terbawa air/erosi. Dalam
pemanfaatannya, lahan kering harus diberi perlakuan tambahan agar dapat
meningkatkan produksi pertanian. Salah satu caranya adalah dengan menanam
tanaman yang dapat meningkatkan kesuburan tanah seperti jenis kacang-kacangan,
pohon Lamtoro yang bisa menambah kandungan nutrisi dalam tanah.
- Perluasan lahan pertanian dengan pembukaan Lahan gambut
Lahan gambut merupakan lahan yang sangat potensial untuk
ditanami. Lahan ini sangat subur dan berair. Lahan ini dapat digunakan untuk
meningkatkan hasil produksi tanaman. Di Indonesia, lahan gambut ini banyak
terdapat di Sumatera dan Kalimantan.
(Anonymousb,2012)
2.3 Dampak dari dilakukan
ekstensifikasi pertanian
Terlepas
dari tingginya permintaan akan kebutuhan pangan, ada dampak negatif yang akan
ditimbulkan dari dilakukannya ekstensifikasi pertanian ini. Dampaknya antara lain:
·
Rusaknya
ekosistem pada lahan-lahan tertentu
Dengan dibukanya lahan-lahan pertanian seperti pada hutan,
lahan gambut, tentu saja dapat meruak ekosistem yang ada di sekitarnya. Dengan
adanya kegiatan bercocok tanam dan pemukiman penduduk yang baru tentu
mengganggu populasi hewan dan tumbuhan. Selain itu, hutan sebagai sumber
produksi Oksigen terbesar yang sangat penting bagi manusia juga ikut hilang.
·
Berkurangnya
habitat alami hewan di alam
Ekstensifikasi petanian ini dapat menyebabkan hewan yang
tinggal dan hidup di alam menjadi terganggu habitatnya dan mulai tersingkir
tempat hidupnya lebih jauh lagi. Tidak heran jika ada rombongan Gajah atau
Harimau yang datang menyerang pertanian dan merusaknya karena mereka kelaparan
dan tidak memiliki tempat tinggal lagi.
(Anonymousb,2012)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pelaksanaan Proyek Lahan Gambut
Proyek
Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare di Propinsi Kalimantan Tengah
dilaksanakan berdasarkan Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang
Ketahanan Pangan, diikuti oleh Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang
Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan
Tengah. Tujuan utama dari Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar yaitu
mengkonversi hutan rawa gambut (wet land)
yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan
swasembada beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984. Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan pangan dilakukan
dengan membuka areal baru (ekstensifikasi),
meningkatkan intensitas tanam dan usaha intensifikasi lainnya dengan tujuan
meningkatkan produksi.
Tujuan
yang akan dicapai dari kajian ini adalah memberikan arahan kepada Pemerintah,
baik Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah di Kalimantan Tengah dalam menata
ulang rencana pemanfaatan kembali kawasan eks-PLG.
Sasaran dari kajian ini yaitu
tersusunnya rencana yang komprehensif dan terintegrasi sebagai dasar
pengembangan dan pengelolaan kawasan eks Proyek PLG di Kalimantan Tengah sesuai
dengan tugas yang dimandatkan kepada Tim Ad Hoc, yaitu melakukan :
(1)
Evaluasi
penanganan kawasan Eks PLG di Kalimantan Tengah;
(2)
Penyiapan
konsep rehabilitasi kawasan Eks PLG di Kalimantan Tengah;
(3)
Penyusunan
mekanisme penanganan kawasan Eks PLG di Kalimantan Tengah melalui koordinasi
tim terkait; dan
(4)
Penyiapan
rekomendasi alternatif rehabilitasi kawasan Eks Proyek Lahan Gambut (PLG) di
Kalimantan Tengah.
3.2 Dampak Pembukaan PLG (Proyek Lahan Gambut)
Proyek PLG yang pada awalnya
dilaksanakan tanpa didahului Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL menyusul
kemudian setelah proyek PLG berjalan hampir setahun). telah menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan fisik, biologi, dan sosial.
Dampak-dampak negatif tersebut antara lain :
(1) Pembuatan saluran primer induk (SPI) sepanjang 187
kilometer yang menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito
serta memotong cukup banyak anak sungainya telah berakibat berubahnya pola tata
air, dan kualitasnya. Pembuatan saluran
tersebut telah membongkar lapisan gambut, sehingga timbul senyawa pirit yang
bersifat racun, dan kondisi inilah yang menjadi penyebab kematian ikan secara
masal yang disebabkan oleh perbedaan yang menyolok antara pH pada saluran
irigasi (3,5 – 4) dengan pH air sungai (5,5 – 6,5). Kondisi ini telah terbukti dengan terjadinya
kematian ikan secara masal yang yang terjadi di Sungai Mangkatip dan anak-anak
Sungai Barito yang disebabkan menurunnya pH perairan akibat dari pematusan air
melalui kanal-kanal yang digali. Lapisan
gambut yang tergali menjadi terekspos sehingga menghasilkan senyawa pirit yang
beracun bagi ikan.
(2)
Penebangan
pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan tanah berkurang,
kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim penghujan, sebaliknya
pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar, dan kebakaran lahan
gambut 1997 merupakan salah satu penyumbang karbon yang cukup besar di udara.
(3)
Beberapa
spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin (Gonystylus spp), jelutung (Dyeralowii),
kempas (Koompassia malaccensis),
ketiau (Ganua motleyana), dan nyatoh
(Dichopsis elliptica) terancam punah,
selain itu keberadaan ekosistem air hitam (black
water ecosystem) dan ikan khas yang hidup di dalamnya, seperti manau
tempahas (Calamus manau) menjadi terancam, padahal ekosistem air hitam ini merupakan
kawasan khas di lahan gambut.
(4)
Pembukaan
lahan gambut menimbulkan dampak menurunnya produksi di sektor perikanan,
kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya beje dan tatah (teknik penangkapan
ikan secara tradisional) di beberapa desa seperti di Dadahup, Terantang, dan
Lamunti. Sebelum proyek PLG dilaksanakan produksi ikan dari beje dan tatah di
daerah kajian sekitar 500 – 2000 kg/beje/tahun dengan total produksi sekitar
2000 ton/tahun atau senilai 10 milyar rupiah. Namun setelah proyek PLG
dilaksanakan, pada tahun 2000 produksi beje yang masih tersisa menurun sangat
drastis antara 5 – 150 kg ikan/beje atau sekitar 10 – 20 ton ikan senilai 75
juta rupiah (Kartamihardja dan Koeshendrajana, 2001).
(5) Dampak sosial bagi
masyarakat lokal yaitu hilangnya sumber pendapatan dari hasil hutan seperti
karet, berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan, serta “purun“ yaitu jenis
tanaman yang digunakan untuk membuat tikar, serta berkurangnya lahan perikanan
dan menurunnya hasil tangkapan ikan, kondisi ini mengakibatkan menurunnya
pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek PLG secara drastis. Kondisi ini menyebabkan kondisi sosial
ekonomi masyarakat menjadi bertambah miskin, dan apabila tingkat kemiskinan
tinggi kondidi ini sksn menjadi penyebab meningkatnya kerawanan di sektor
keamanan.
(6) Proyek PLG juga
melanggar sistem tata ruang yang sudah disepakati masyarakat adat, mengingat
masyarakat mempunyai zonasi tata guna lahan sendiri yaitu 3 kilometer dari
pinggiran sungai, berupa lahan subur yang diijinkan untuk kegiatan budidaya,
dan lebih dari 3 kilometer hingga 5 kilometer adalah hutan adat yang dimiliki
secara komunal yang dapat dimanfaatkan berdasarkan kesepakatan adat. Proyek PLG telah merubah tata ruang yang
telah disepakati masyarakat adat.
(7) Proyek ini
menyisakan berbagai masalah sosial dan lingkungan, seperti nasib buruk para
transmigran yang pada umumnya belum menguasai pengolahan pertanian lahan basah,
dan masyarakat setempat tergusur dari lahannya.
3.3 Pendekatan dan
Penangan
Upaya penyelesaian masalah dan
penanganan kawasan eks PLG pada prinsipnya diarahkan pada pengembangan kawasan
guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat (local community) bersama-sama dengan
transmigran di dalam suatu ekosistem lahan basah yang harmonis. Belajar dari kegagalan Proyek PLG sebagai
akibat dari kegiatan pembangunan yang serba tergesa-gesa dan terlalu ambisius
tanpa diawali perencanaan yang matang dan terpadu, diperlukan pendekatan
penanganan kawasan eks PLG yang mengedepankan proses perencanaan dan persiapan
secara terpadu dan realistis, agar seluruh program yang diusulkan dapat dioperasionalisasikan
dan memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal dan transmigran pada
kawasan tersebut.
Dalam
rangka pengembangan wilayah yang berkelanjutan, perlu dirumuskan pendekatan
pembangunan di kawasan eks PLG yang disesuaikan dengan daya dukung dan
karakteristik ekosistemnya, dengan titik berat pada upaya pemberdayaan dan
kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi-potensi di dalam
kawasan. Pendekatan yang diterapkan
dalam rangka pengelolaan kawasan eks PLG di Provinsi
Kalimantan Tengah terdiri atas beberapa aspek, yaitu (1) Aspek Legal, (2) Aspek
Penataan Ruang, (3) Aspek Produksi, (4) Aspek Konservasi, (5) Aspek
Pengembangan Sumberdaya Air, dan (6) Aspek Kelembagaan.
(1) Aspek Legal
Proyek PLG dimulai pelaksanaannya
berdasarkan Keppres No 82 tahun 1995, Keppres Nomor 74 tahun 1998, Keppres
Nomor 133 Nomor 1998, dan terakhir Keppres Nomor 80 Tahun 1999 yang pada
akhirnya tidak terselesaikan secara baik dengan meninggalkan berbagai
persoalan. Untuk itu pelaksanaan penyelesaian masalah dan persoalannya seharusnya juga dirancang melalui Keppres.
(2) Aspek Penataan Ruang
Penanganan kawasan eks PLG dengan pendekatan penataan
ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan, secara terintegrasi dengan pengembangan
wilayah sekitarnya dengan mem-perhatikan keserasian lingkungan, keterkaitan
fungsional, keseimbangan dan peranannya dalam mendorong pengembangan wilayah.
Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan
:
-
Keserasian,
keselarasan dan kesimbangan fungsi budidaya (produksi) dan fungsi lindung
(konservasi), dimensi waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi pertahanan
keamanan.
-
Aspek
pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi dan estetika lingkungan
serta kualitas ruang.
(3) Aspek
Produksi
Proyek
PLG, disiapkan dalam rangka suatu upaya menumbuhkan suatu kawasan dengan dorongan
peningkatan kesejahteraan pemukim melalui proses produksi pertanian,
perkebunan, perikanan dan usaha produksi
yang lain. Pengelolaan kawasan eks PLG dikembangkan melalui peningkatan
produktivitas wilayah.
(4) Aspek Konservasi
Pengelolaan kawasan eks PLG pada dasarnya adalah
pengelolaan kawasan yang rusak karena
dalam pembukaannya sedikit sekali
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Karena itu, konservasi adalah
pendekatan penting dalam pengelolaan
kawasan eks PLG, baik sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi.
Pada
prinsipnya aspek konservasi pada prinsipnya bertujuan untuk menjaga fungsi
hutan gambut dengan kedalaman > 3 meter dalam menjaga tata air dan
mempertahankan keseimbangan ekologi ekosistem hutan alam gambut baik flora dan
fauna yang khas pada lahan gambut.
Selain itu ekosistem gambut juga merupakan cadangan karbon yang sangat
tinggi (carbon sink).
(5) Aspek Pengembangan Sumberdaya
Air
Pendekatan Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Aliran
Sungai (DAS) dimaksudkan agar pengelolaan wilayah sungai atau DAS tersebut
dapat dilaksanakan secara terpadu (multisector)
dan komprehensif dari hulu hingga hilir, kualitas dan kuantitas sumberdaya air,
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Pengelolaan-nya sesuai dengan prinsip
”one river one plan one integrated manajemen”.
(6) Aspek kelembagaan
Dalam hal ini integrasi
berbagai instansi dan sektor terkait sangat diperlukan dalam suatu kelembagaan
yang opersional dan mapan, sehingga tumpang tindih kepentingan dan pengulangan
(duplikasi program maupun kegiatan atau proyek) dapat dihindari.
3.4 Strategi Penanganan
Di dalam penentuan strategi, penanganan Eks PLG di
Kalimantan Tengah didasarkan pada urutan nalar sebagai berikut :
(1).
Proyek PLG dimulai dengan suatu Keppres 82 Tahun 1995, dengan demikian strategi penyelesaiannya
harus mengikuti dan memperhatikan
peraturan perundangan yang diterbitkan selama dan sampai dengan berakhirnya
Proyek PLG.
(2).
Keppres
terakhir yang menyangkut pelaksanaan
Proyek PLG adalah Keppres No. 80 tahun 1999. Dengan demikian, penentuan
strategi yang dapat dibuat adalah
berlandaskan arahan yang
digariskan dalam Keppres No. 80 tahun
1999 tersebut, khususnya pada pasal 1, Keppres No. 80 tahun 1999, penyelesaian
masalah kawasan Eks PLG.
Berdasarkan permasalahan dan
gambaran atau keadaan terakhir kawasan
Eks PLG, maka di dalam menentukan strategi perlu dipertimbangkan dengan
menghimpun pemikiran-pemikiran, menentukan prioritas, mengkaitkan dengan
Keppres 80 Tahun 1999, serta membangun model penyelesaian. Bagaimana menyusun kerangka solusi, maka
muatan Keppres No 80 Tahun 1999 harus menjadi acuan utama serta memperhatikan
masalah-masalah yang muncul paling terakhir.
Dalam
menganalisa pilihan solusi dan strategi tetap harus memperhatikan masalah yang
mungkin dapat timbul dari substansi Keppres Nomor 80 Tahun 1999 serta masalah
mutakir yang muncul pasca Proyek PLG.
Dengan diimplementasikannya perencanaan pengembangan dan dan
pengembangan kawasan eks PLG melalui dokumen perencanan terpadu ini, maka untuk
mengevaluasi perlu dimonitor untuk perbaikan terus menerus (continuing improvement).
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
·
Ekstensifikasi Pertanian adalah usaha meningkatkan
hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian baru,misalnya membuka
hutan dan semak belukar, daerah sekitar rawa-rawa, dan daerah pertanian yang
belum dimanfatkan. Selain itu, ekstensifikasi juga dilakukan dengan membuka
persawahan pasang surut.
·
Dari
pembahasan dapat disimpulkan walaupun diperlukan perhatian yang serius dalam
penanganan kawasan eks Proyek PLG, keterbatasan yang ada perlu juga
diperhatikan. Program-program dalam
integrated plan perlu ditetapkan prioritasnya berdasarkan urgensinya,
ketersediaan anggaran, waktu, dampak, maupun tenaga yang tersedia, terpenting
adalah penjadwalan yang tertib.
Disamping itu, dalam pelaksanaan setiap rencana dan program diperlukan
strategi, indikator dan asumsi-asumsi penting yang melandasinya, sehingga
rencana dan program tersebut dapat dilaksanakan secara transparan, partisipatif
dan bertanggung gugat (accountable)
4.2 Saran
Dari
pembahasan di atas maka saran yang dapat diberikan yaitu pemerintah
seharusya perlu menetapkan kawasan konservasi pertanian sebagai bagian dari
upaya konservasi alam and budaya. Selain itu, pemerintah perlu mengendalikan
terjadinya ekstensifikasi pertanian. hal tersebut dimaksudkan agar lahan
pertanian dapat digunakan sebagai lahan yang baik untuk memenuhi pangan Negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymousa,2012.Ekstensifikasipertanian.http://www.plnntt.co.id/showthread.php?t=14957&pa ge=1.Diakses 18 May 2012
Anonymousb,2012.Ekstensifikasipertanian. http://zen2011.student.umm.ac.id/
Diakses 18 May 2012
Syahyuti.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=12 6&Itemid=60. 18 May 2012
Ringkasan Eksekutif Bahan A : Pekerjaan Perencanaan Konfrehensif Proyek PengembanganDaerah Rawa,
Depdiknas – UGM – Lembaga Penelitian Sumberdaya Lahan :SPM No. 11/SPMK- PR/2000, tanggal 5 September 2000,
Kontrak No. 03/SPPK/P2PR-KT/IX/2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar